BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sorotan masyarakat yang cukup
tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan
terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan
isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek
hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu
disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk dan prosedur
perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang
Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga
yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain
peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam
perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap
kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum
Perdata, pidana dan administrasi.
2.
Tujuan
Penulisan
a.
Menjelaskan
penegrtian malpraktek.
b.
Menjelaskan
jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
c.
Menjelaskan
cara-cara pembuktian malpraktek
d.
Memahami
upaya pencegahan malpraktek.
3.
Kasus
June 28, 2010 • 1:03 pm
Malpraktek Rumah Sakit Mohammad Anwar, Mata
Bayi 6 Bulan di Copot
Kediri – Nahas menimpa Rendi Nur Rizki, balita berusia enam bulan. Anak pertama pasangan Nuryudi (22) dengan Reli Hartani (24) harus hidup tanpa satu bola mata, di sebelah kanannya.
Kediri – Nahas menimpa Rendi Nur Rizki, balita berusia enam bulan. Anak pertama pasangan Nuryudi (22) dengan Reli Hartani (24) harus hidup tanpa satu bola mata, di sebelah kanannya.
Balita berjenis kelamin laki-laki malang ini
kehilangan indera penglihatannya setelah sebelumnya menjalani operasi di Rumah
Sakit dr H Mohammad Anwar Sumenep.
Karena keluarga merasa putus asa dengan penanganan kepolisian, kini Rendi dibawa pulang ke rumah kakeknya Sajuri (63) Dusun Gondang, Desa Purworejo, kecamatan Kandat kabupaten Kediri.
Karena keluarga merasa putus asa dengan penanganan kepolisian, kini Rendi dibawa pulang ke rumah kakeknya Sajuri (63) Dusun Gondang, Desa Purworejo, kecamatan Kandat kabupaten Kediri.
Nuryudi, ayah korban membawa pulang anaknya
sejak satu bulan lalu. Yudi mengaku lelah memperjuangkan nasib anaknya di
Sumenep, namun sampai saat ini ia belum mendapatkan keadilan.
“Saya hanya bisa menunggu hasil dari penanganan
kasus ini oleh pengacara saya, Azam Khan SH dari Jakarta yang berjanji
memberikan bantuan hukum secara gratis,” ungkap Yudi, Rabu (7/4).
Masih kata Yudi, melalui pesan pendek dari
pengacara dijelaskan bahwa kasus tersebut sudah dilaporkan kepada Dewan
Kehormatan Kedokteran. Sebab hingga saat ini pihak keluarga meyakini jika
lepasnya bola mata kiri Rendi saat dirawat di Rumah Sakit Umum Muhammad Anwar akibat
dugaan malpraktek medis.
Yudi menjelaskan, peristiwa memilukan yang
menimpa buah hatinya bermula dari kedatangannya bersama sang istri ke rumah
sakit Muhammad Anwar Sumenep pada 12
Oktober 2009 lalu. Saat itu istrinya Reli
hendak melahirkan.
Setelah dalam penanganan medis, Rendi pun lahir
secara normal. Namun, karena berat berat badan bayi di bawah normal, akhirnya
Rendi harus dirawat di inkubator.
Sedangkan, Reli ibunya diperbolehkan pulang. Rendi pun harus ditunggui secara bergantian oleh keluarganya, karena Yudi sebagai kuli angkut harus bekerja mencari
Sedangkan, Reli ibunya diperbolehkan pulang. Rendi pun harus ditunggui secara bergantian oleh keluarganya, karena Yudi sebagai kuli angkut harus bekerja mencari
uang untuk biaya perawatan anaknya.
Pada tanggal 22 Oktober, atau tepatnya hari
ke-9 setelah kelahirannya, Rendi ditunggui oleh neneknya Marwah. Petaka itu pun
datang, saat Marwan harus beli obat ke rumah sakit, Rendi dijaga oleh tetangga
Misrawani.
“Saat itu tiba-tiba datang salah seorang
perawat menyodorkan surat pernyataan kepada tetangga saya bahwa mata Rendi
harus dioperasi karena terkena penyakit yang berbahaya, kalau tidak akan menjalar
ke otak. Tetangga saya pun membubuhi tanda tangannya dan anak saya akhirnya
dioperasi,” cerita Yudi.
Keesokan harinya, pada tanggal 23 Oktober 2009,
Yudi mendapat surat dari rumah sakit, dia diminta datang. ”Tiba-tiba saya
diberi bola mata anak saya dan disuruh menguburkan karena mengandung penyakit
yang berbahaya. Tentu saja saya shock, karena saat lahir mata anak saya
normal,” masih cerita Yudi.
Apalagi, Reli ibu Rendi seakan tak percaya
bahwa bola mata anaknya telah dikeluarkan dari kelopaknya. Karena tidak terima,
kemudian keluarga mendatangi rumah sakit, untuk menuntut agar mengembalikan
bola mata Rendi. Namun, Yudi dan Reli malah mendapat bentak-bentakan dari
petugas medis.
Tepat pada tanggal 12 November 2009, akhirnya
keluarga memutuskan untuk lapor polisi. Namun, meski sempat diproses, namun
akhirnya kasus itu dihentikan oleh pihak kepolisian Resor Sumenep karena tidak
ditemukannya alat bukti malpraktik. Ditunjukkan dengan surat pemberitahuan
Polres Sumenep nomor B/352/X/2009/Satreskrim yang ditandatangani Kepala Satuan
Reskrim Ajun Komisaris Polisi Mualimin. Dalam surat tersebut tertulis bahwa
Polres Sumenep belum menemukan alat bukti baru (novum) untuk melanjutkan
pemeriksaan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”
sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga
malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah
kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World
Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the
standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill,
or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an
injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar
pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan
perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera
pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga
kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice
merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice
pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
2. Malpraktek Di Bidang Hukum
Untuk malpraktik hukum atau yuridical
malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni
Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : Perbuatan
tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. Dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan
yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
·
Tidak
melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
·
Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya
·
Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
·
Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang
persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin
Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
3. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan
Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat
dilakukan dengan dua cara yakni :
a. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya
4 D yakni :
1) Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan
pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
a) Adanya indikasi medis
b) Bertindak secara hati-hati dan teliti
c) Bekerja sesuai standar
profesi
d) Sudah ada informed
consent.
2) Dereliction of Duty (penyimpangan dari
kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan
3) Direct Cause (penyebab langsung)
4) Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).
b. Cara Tidak Langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian
yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin
res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
1) Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter
tidak lalai
2) Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung
jawab dokter
3) Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien
dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam
tanggung gugat, antara lain:
a) Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak
dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di
lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai standar profesi/standar pelayanan.
b) Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat
yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam
tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat
atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
c) Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan
hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya
perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).
4. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir
ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang
tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran
itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata
hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat
mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi
disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai
diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya,
lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum
Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam
common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis,
seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan
perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional
termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan
tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah
yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi
secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan
bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang
apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak (
breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian
(negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono
dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,
selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang
itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”,
hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April
2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi
menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas
kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi
tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang
relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya
merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah
guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik
Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik
Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan
bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182
pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter
yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan
sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan
terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi
seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta
peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat
terealisasi.
5. Aspek Hukum Malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai
sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang
mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan
sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu
juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan
keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga
menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3
syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini
ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang
meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar
prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab
antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan
syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana
adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu
luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure
tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP).
Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP)
untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat
unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak.
Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya
kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh
dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis
(perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya
sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum
yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan
kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran
kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik
perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas
dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan
melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini
tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik
pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure
pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil
(yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya
tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka
berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat
tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the
things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang
tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah.
Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada
dirinya.
6. Asumsi Masyarakat Terhadap Malpraktek
Maraknya malpraktek di Indonesia membuat
masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya
lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak
berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum.
Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara
tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan
sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan
tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu
mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana
kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap
profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter
telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju
yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan
terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak
surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah
(ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan
dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien
pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik
dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik
medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus
sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat
dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang
diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau
dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah
berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi
sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
7. Upaya Pencegahan Malpraktik Dalam Pelayanan Kesehatan
a. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan
kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk
menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1) Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan
keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2) Sebelum melakukan intervensi agar selalu
dilakukan informed consent.
3) Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam
rekam medis.
4) Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan
kepada senior atau dokter.
5) Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
6) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien,
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
b. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada
pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga
bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal
malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
1) Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk
menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa
yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan
dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan
menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya
tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),
apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban
(dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan
kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed
consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981
yaitu:
a) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
b) Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik
maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
c) Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko
cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani
pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
d) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir
3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
e) Informasi tentang tindakan medis harus
diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan
informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter
dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang
bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
f)
Isi
informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan
secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed
consent).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa
persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya
pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat
paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary
relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta
kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia
dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis
menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa
menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien)
yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang
terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai
suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan
memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI
tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya
diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut hukum acara
(pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang
masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi
yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar
biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh,
tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada
masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu
penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks
sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa
malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di
Indonesia.
2. Saran
Terhadap dugaan malpraktik
medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum
pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan
pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara
perdata.
DAFTAR PUSTAKA
http://bidankita.com/?p=210
http://chans-ums.blogspot.com/2009/07/malpraktek.html
http://everythingaboutortho.wordpress.com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-sebagai-seorang-dokter-memahaminya/
http://rob13y.wordpress.com/2010/06/28/salah-operasi-mata-bayi-6-bulan-copot/ http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran-t93.htm
http://chans-ums.blogspot.com/2009/07/malpraktek.html
http://everythingaboutortho.wordpress.com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-sebagai-seorang-dokter-memahaminya/
http://rob13y.wordpress.com/2010/06/28/salah-operasi-mata-bayi-6-bulan-copot/ http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran-t93.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar